DPR RI dan pemerintah resmi mengesahkan RKUHP atau Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menjadi sebuah Undang-Undang pada rapat Paripurna yang digelar di Kompleks Parlemen, hari Selasa (6/12/22) siang tadi. Rapat tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad. Pada rapat tersebut, Ahmad menanyakan kembali kepada seluruh peserta sidang, apakah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat disetujui dan sah menjadi undang-undang, sembari mengetok palu.
RKUHP tersebut lantas diserahkan ke pemerintah untuk diteken oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dan diberi nomor untuk masuk ke dalam lembar negara.
Untuk diketahui, pengesahan RKUHP terus mengalami penundaan sejak mendekati akhir masa bakti DPR periode 2014-2019. Hal tersebut dikarenakan adanya desakan publik terkait banyak pasal-pasal bermasalah dan kontroversial. Sejumlah publik yang menyatakan bahwa banyaknya pasal yang berpotensi karet antara lain jurnalis, praktisi hukum, aktivis HAM, dan mahasiswa, saat melihat draf RKUHP.
Lantas apa saja pasal yang berpotensi karet?
Pasal KUHP yang Dinilai Bermasalah
Penghinaan Terhadap Presiden
Pada draf RKUHP, pasal 218 ayat (1), dinyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wapres dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp200 juta.
Pasal Makar
Kemudian pada Pasal 192, dinyatakan bahwa, setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah NKRI jatuh kepada kekuasaan asing atau untuk memisahkan diri dari NKRI dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara maksimal 20 tahun.
Pasal 193 ayat (1) mengatur setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
Pasal 193 ayat (2) menyatakan pemimpin atau pengatur makar dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun.
Demo Tanpa Pemberitahuan
Draf RKUHP turut memuat ancaman pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan. Hal itu tertuang dalam Pasal 256.
Sejumlah pasal tersebut dikritik karena bisa dengan mudah mengkirminalisasi dan membungkam kebebasan berpendapat.