Romo Magnis Suseno merupakan seorang Guru Besar Filsafat Moral, yang jugaseorang Pastor dari Gereja Katolik. Pada kasus yang menimpa Bharada E terkait pembunuhan yang dilakukan atas perintah Ferdy Sambo kepada Brigadir J, Romo Magnis Suseno hadir sebagai saksi ahli yang meringankan pihak Bharada E. Menurut ketua tim Penasihat Hukum Bharada E, yaitu Ronny Talapessy, Romo Magnis Suseno dihadirkan untuk menjelaskan konflik moral yang dirasakan Bharada E atau Richard Eliezer ketika disuruh melakukan penembakan terhadap Brigadir J.
Pada persidangan, Romo Magnis Suseno mengungkapkan bahwa terdakwa Bharada E memang mengalami dilema moral saat ada perintah dari Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir J. Menurutnya, Bharada E berada dalam dua sisi saat mendapatkan perintah dari mantan Kadiv Propam Polri tersebut. Lantas Bharada E berada di ambang antara menyalahi etika serta moral, dan perintah dari seorang atasan. Terlebih, Bharada E hanya seorang Bhayangkara tingkat dua.
Dalam hal ini, Romo Magnis Suseno mengatakan, bahwa Bharada E diberi perintah oleh orang yang berhak memberi perintah, yang wajib ditaati supaya melakukannya, yaitu seorang Kadiv Propam Polri berpangkat Inspektur Jenderal Polisi atau Irjen. Dengan ini, tentu terdapat konflik batin yang terjadi di dalam diri Bharada E ketika diperintahkan untuk menembak.
“Meskipun dia (Richard) ragu-ragu, dia bingung, itu tidak berarti sama sekali tidak ada kesalahan, tetapi itu jelas menurut etika sangat mengurangi kebersalahan,”, ujar Romo Magnis Suseno.
Namun, Romo Magnis Suseno pun menambahkan, bahwa tidak seharusnya Bharada E disalahkan sepenuhnya dalam peristiwa tersebut. Menurutnya, dalam sisi etika moral, Bharada E dihadapkan dalam kondisi bingung dan tak tahu harus berbuat apa ketika diperintahkan oleh atasannya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Romo Magnis Suseno menilai terdapat dua unsur yang dapat meringankan Bharada E terkait tindakannya yang melaksanakan perintah Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir J. Pertama, unsur Bharada E sebagai anggota Polri berpangkat rendah, yakni Bharada. Kedua, adanya keterbatasan berpikir atas tindakan yang diperintahkan oleh Jenderal Bintang Dua tersebut kepada Bharada E.