Telah beredar kabar mengenai utang piutang yang dilakukan antara Anes Baswedan dan Sandiaga Uno. Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut diisukan meminjam sejumlah uang kepada mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, sebesar Rp50 miliar pada Pilkada DKI 2017. Meski begitu, Sandiaga Uno enggan menyinggung kembali atas kejadian itu, dan sudah mengikhlaskan uang terebut setelah menerima masukan dari keluarga.
Menurut pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Malang, Hutri Agustino, sebagaimana dikutip dari voi.id, kondisi politik di Indonesia saat ini sudah jauh bergeser dari masa era awal kemerdekaan. Pasalnya, politik saat ini sudah bertransformasi menjadi seperti pasar yang sarat dengan transaksi. Adapun kepentingan-kepentingan tersebut yang hadir hanya sesaat saja, bahkan cenderung hanya sebagai alat bagi-bagi kekuasaan.
Atas rumor yang beredar tersebut, Sandiaga Uno mengatakan bahwa dirinya tidak ingin melanjutkan pembicaraan mengenai kabar adanya pinjaman Anies Baswedan. Sandi pun mengatakan bahwa, alangkah baiknya para pihak yang mengetahui untuk bisa menyampaikannya, karena yang ingin ia lakukan saat ini adalah menatap masa depan.
Sebelumnya, rumor peminjaman uang tersebut dikemukakan oleh Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Erwin Aksa. Erwin menyatakan bahwa Sandiaga Uno memberikan pinjaman kepada Anies Baswedan untuk memenuhi kebutuhan logistik pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Pinjaman tersebut didasarkan atas kepemilikan lukuiditas yang dimiliki oleh Sandi.
Meski begitu, Sandiaga Uno menegaskan pula bahwa dirinya sedang fokus menjalani hari ini, dan tidak ingin mengungkit masa lalu. Ia pun menyatakan bahwa hubungannya dengan Anies Baswedan baik-baik saja, meskipun sudah tak bersama di Pemprov DKI.
“Kami bersahabat dan sebagai seorang sahabat sekarang tugasnya saya di kementerian pada tugas saya untuk membangkitkan ekonomi dan tentunya menjaga, mengawal momentum dari kebangkitan sektor pariwisata,” ujar Sandiaga Uno, sebagaimana dikutip dari Merdeka.com.
Menurut Hutri Agustino, transaksi politik yang kerap terjadi di Indonesia akan menjadi isapan jempol, seandainya pembekalan pendidikan politik masyarakat berjalan dengan baik. Namun, pada kenyataannya, hal tersebut masih jauh dari harapan. Hingga saat ini, masyarakat justru larut terbawa suasana politik praktis.